April
1994, Kala itu pagi sangat cerah
sehingga Matahari tak ragu menyinari cahayanya. Burungpun berkicau berterbangan bak keluar dari sangkar. Pagi terasa segar
namun, kesegaran itu terusik dengan kabar yang diumumkan oleh Bapak Aparat Desa
tentang ketinggian air sungai bengawan Solo semakin meningkat. Sementara
tanggul desa Parengan sudah tidak akan bisa lagi bertahan. Mendengar berita
tersebut masyarakat Desa berduyun-duyun menuju tanggul tepi bengawan Solo yang
dianggap paling rawan, untuk bekerja bakti meninggikan tanggul.
Dengan
penuh semangat semua warga membawa peralatan yang dibutuhkan. Dan tak sedikit
yang membawa karung/sak guna diisi dengan tanah/pasir. Semua warga saling
bergotong royong bahu-membahu untuk mempertahankan tanggul agar air bengawan
Solo tidak terus meluber. Tak sedikit juga warga penduduk desa tetangga atau
desa lain ikut membantu bergotong royong dengan meninggikan tanggul.
Waktu
terus bergulir, detik ke menit, menitpun berganti dengan jam, matahari bergeser
terus hingga terik matahari sangat menyengat, tenaga masyarakat pun tampak amat
terasa lelah dan letih. Hingga menjelang sore pun debit air Bengawan Solo terus
semakin meninggi. Akhirnya tepat jam 3 sore hari Senin tanggal 28 April 1994
tanggul barat Desa Parengan RT 4 yang sudah sejak pagi dengan susah payah
masyarakat perjuangkan untuk tidak jebol, akhirnya amblas bersama gerumuh
derasnya air sungai Bengawan Solo mengisi Desa yang berada di kecamatan Maduran
tersebut.
Suasana semakin mencekam. Masyarakat
semakin panik dan bingung akan mau kemana. Telinga terasa terngiang-ngiang
pemberitahuan aparat Desa yang semakin membuat hati was-was. dengan hati yang
carut marut, semua warga berlarian menyelamatkan diri dan barang berharga. Masyarakat
pun berbondong-bondong pergi ke tanggul Pemerintah (tanggul belakang) karena tanggul
tersebut di anggap aman.
Banjir
menenggelamkan semuanya, rumah penduduk, tempat ibadah (masjid), balai Desa,
Balai Pengobatan (BP), sarana pendidikan (sekolah dan pondok pesantren). Bahkan jalan raya satu-satunya jalur
transportasi menghubungkan kecamatan Laren pun tak bisa dilalui. Perekonomian desa
Parengan menjadi macet total sehingga Masyarakat hanya bisa meratapi nasib
mereka. Bahkan anak-anak sekolah harus mengikuti Akhir Nasional dengan kondisi
yang memprihatinkan. Tak ada air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, untuk
mandi, untuk masak dan MKCK berbaur menjadi satu.
Akhirnya waktu terus berjalan. Sehingga
Tuhan memberikan cahayanya bagi warga. Sekitar satu bulan lebih air bengawan
Solo menghiasi seluruh Wilayah Desa Parengan, akhirnya debet air semakin
menurun. para warga pun mulai bangkit lagi dengan kondisi seadanya. Mereka tak
akan larut dalam kesedihan. Bencana yang
baru saja mereka alami tersebut akan menjadi memori buruk yang mereka alami. Sehingga
mereka berharap bencana banjir yang terjadi pada 1994 tidak akan terjadi untuk
kedua kalinya.